Selama lebih kurang 11 tahun Rasulullah berjuang di Mekkah bersama para sahabat muslim yang telah memeluk Islam, tidak memperoleh pengikut yang banyak, bahkan Rasulullah dan ummat muslim lainnya yang tergolong kelompok minoritas, mendapatkan kecaman, tantangan dan juga tekanan dari kelompok kafir yang ada di Mekkah. Karena itu, Rasulullah bersama para sahabat dan ummat muslim yang ada di Mekkah, melakukan hijrah ke Yastrib. Hijrah inilah yang menjadi titik awal perkembangan Islam yang semula hanya merupakan komunitas sosial lemah, menjadi suatu komunitas ummat yang kuat dan kokoh serta berdiri sendiri. Rasulullah sendiri menjadi pemimpin bagi komunitas yang baru dibentuk tersebut yang dengan segera akhirnya menjadi suatu Negara (Pulungan 1994, hal. 1-2).
Dalam sejarah politik Islam, Madinah merupakan negara Islam pertama yang terbentuk. Hal ini dinyatakan oleh D. B. MacDonald, sebagaimana yang dikutip oleh Suyuthi Pulungan (1996, hal. 2) bahwa; “di sini Madinah telah terbentuk negara Islam pertama dan telah diletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-udangan Islam”. Selanjutnya, masih dalam buku Suyuthi Pulungan, pernyataan D. B. MacDonald ini, diperkuat oleh Fazlur Rahman yang membenarkan bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi itu merupakan suatu negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu ummat muslim.
Di masa Rasulullah, pemerintahan negara Madinah dipegang sepenuhnya oleh Rasulullah dan dibantu oleh para sahabat yang memiliki kemampuan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Nabi Muhammad yang bersamaan pada waktu disebut sebagai pemimpin agama dan pemimpin politik atau kepala negara, memainkan peranan pentingnya selaku seorang birokrat pemerintahan, yakni seorang kepala pemerintah, dengan kata lain dalam diri Rasulullah terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Dengan demikian, kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan kepala negara (Yatim, 2002, hal. 25). Dalam hal ini, lebih lanjut Murtadha Muthahhari mengatakan: “sesungguhnya ada tiga kedudukan berbeda yang khusus dimiliki oleh Rasulullah. Kedudukan pertama ialah kenabian atau kerasulan, yakni kedudukan sebagai pembawa dan penyampai hukum-hukum Allah Swt yang diwahyukan kepada beliau. Kedudukan kedua ialah sebagai penentu dan pemutus hukum. Kedudukan ini mewajibkan kepada Nabi untuk menegakkan kebenaran bila terjadi pertentangan dan perselisihan di antara manusia dengan bersandar pada suatu hukum. Untuk itu, Rasulullah berhak menjadi hakim di tengah-tengah manusia. Kedudukan ketiga ialah sebagai penguasa dan memegang kendali pemerintahan. Dari ketiga kedudukan tersebut yang dimiliki oleh Nabi, kedudukan pertama tidak mungkin akan tergantikan oleh siapapun setelah Rasulullah wafat, karena beliau adalah penutup para Nabi. Sedangkan dua dari kedudukan yang tersebut terakhir, yaitu kedudukan beliau sebagai penentu hukum dan sebagai penguasa atau pemimpin ummat setelah Rasulullah wafat, tidak ikut terkubur. Hal ini disebabkan manusia tetap memerlukan seorang pemberi keputusan (hakim) juga seorang pemimpin yang arif dan bijaksana untuk memimpin ummat (Muthahhari 1996, hal. 119-121).
Kedudukan Rasulullah sebagai seorang pemimpin, secara teknis telah mendapat legitimasi oleh rakyat Madinah dikala itu sebagai kepala negara tanpa harus melalui pemilihan terbuka baik secara langsung maupun tidak langsung, sebagaimana praktik yang terjadi di Indonesia dewasa ini.
Proses pengangkatan Rasulullah sebagai pemimpin / kepala negara bukan berdasarkan wahyu dari Allah Swt, akan tetapi berdasarkan atas kesepakatan yang disebut dengan perjanjian, yang dalam kajian ilmu politik, hal ini disebut dengan “kontrak sosial”. Perjanjian yang dimaksud di sini adalah perjanjian antara penduduk Yastrib (Madinah) dengan Rasulullah yang dikenal dengan perjanjian Aqobah, yang terjadi pada tahun 621 M dan 622 M (Zuhri 2004, hal. 32).
Hal tersebut dapat dipahami, di mana pernah terjadi kontrak politik antara Nabi dan masyarakat Madinah yang menginginkan Rasulullah dan ummat Islam Mekkah untuk segera melakukan hijrah ke Madinah. Beberapa orang dari penduduk Yastrib (penyebutan bagi Madinah sebelum Nabi hijrah) yang berasal dari suku Khazraj dan Aus datang untuk melaksanakan Haji dan kemudian bertemu dengan Rasulullah, mereka merasa terkesan dengan setiap tutur kata Rasulullah (Hitti 2006, hal. 145). Pertemuan itulah yang menjadi awal dari interaksi Rasulullah dengan para penduduk Madinah.
Peristiwa ini berlangsung dalam tiga tahap, pada tahap pertama, kedatangan mereka adalah untuk menunaikan ibadah haji yang pada waktu secara kebetulan bertemu dengan Rasulullah, dan menerima ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Tahap kedua, kedatangan utusan penduduk Yastrib yang berjumlah 13 orang, menyatakan bai’at atau janji setia kepada Rasulullah di suatu tempat yang bernama Aqabah. Peristiwa ini dikenal dengan “perjanjian Aqabah pertama”. Terakhir, tahap ketiga, yang terakhir ini delegasi penduduk Yastrib datang menghadap Rasulullah dengan membawa 73 orang, pada kesempatan ini mereka meminta Rasulullah untuk segera melakukan hijrah ke Yastrib dan mereka menyatakan janji setia dan bersedia untuk membela Rasulullah dari berbagai ancaman. Peristiwa tersebut dikenal dengan “perjanjian Aqabah kedua” (Yatim 2002, hal. 24).
Dengan adanya peristiwa Aqabah ini, secara tidak langsung Rasulullah mendapat bai’at dari penduduk Madinah kala itu, yang di wakili oleh beberapa orang yang menjadi delegasi untuk menghadap Rasulullah. Delegasi itu sendiri tidak hanya dari satu golongan yang ada di Madinah, di antara mereka terdiri dari golongan ‘Aus dan Khazraj ditambah satu orang wanita, mereka mengatas-namakan penduduk Yastrib secara keseluruhan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Badri Yatim di atas. Ini bermakna bahwa Rasulullah sendiri telah memperoleh pengakuan kepemimpinan dari ummat Islam secara keseluruhan untuk mengatur dan mengurus segala macam persoalan keummatan.
Sebagai seorang pemimpin ummat, Rasulullah dengan segera menjadikan komunitas ummat muslim menjadi suatu pemerintahan Islam yang mandiri dan berkedaulatan. Rasulullah meletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam. Rasulullah sendiri tampil dalam dua fungsi kepemimpinan utama yang melekat pada dirinya, disatu sisi ia merupakan pemimpin religius karena posisinya sebagai Nabi dan Rasul Allah Swt, dan di sisi lain ia juga bertindak sebagai pemimpin ummat Islam Madinah yang notabenenya merupakan masyarakat majemuk dan pluralis. Karena penduduk Madinah saat itu, terdiri dari berbagai golongan yang berbeda, di dalamnya terdapat golongan Muhajirin, Anshar dan golongan lainnya yang berada di dalam kekuasaan Islam, yaitu golongan Yahudi dan Nashrani. Maka dari itu, Rasulullah melakukan langkah-langkah untuk dapat mempersatukan ummat muslim dengan cara mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, langkah ini dianggap sebagai langkah efektif untuk membina ukhuwah Islamiyah di dalam Islam. Langkah kedua adalah merancang dan menetapkan perjanjian tertulis yang juga merupakan prinsip-prinsip kemasyarakatan yang harus dipatuhi oleh setiap pribadi orang yang berada di Madinah. Hal ini bertujuan untuk mempersatukan semua golongan yang heterogen di dalam Madinah, sehingga akan tercipta keamanan dan kenyamanan antar golongan. Dalam tata Negara modern, langkah-langkah tersebut merupakan fondasi awal terbentuknya kenegaraan dan pemerintahan di dalam Islam.
Selaku pemimpin ummat, Rasulullah telah berhasil menciptakan suatu komunitas masyarakat sosial politik. Sepanjang kepemimpinan Rasulullah di Madinah beliau telah menjadikan Negara Islam menjadi suatu Negara besar yang memiliki kekuasaan wilayah yang luas, fundamen politik yang kokoh, menetapkan aturan-aturan yang jelas bagi kehidupan masyarakat Madinah dengan mengikatnya dengan undang-undang yang disebut dengan Piagam Madinah.
Pasca wafatnya Rasulullah, terjadi transisi kekuasaan dalam pemerintahan Islam. Sebelum meninggal dunia, Rasulullah tidak pernah menunjuk penggantinya sebagai kepala negara selanjutnya, bahkan Rasulullah juga tidak memberikan suatu aturan atau mekanisme pemilihan untuk memilih pemimpin pengganti beliau. Tidak satupun ayat maupun hadits yang menjelaskan bagaimana mekanisme untuk memilih seorang khalifah (Thaba 1996, hal. 100).
Kemudian, karena tidak adanya petunjuk dari Rasulullah untuk menentukan kepemimpinan beliau, maka ummat muslim berinisiatif untuk mengadakan pertemuan yang bertempat di Balai Saqifah milik Bani Sa’idah. Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan-perwakilan dari golongan Muhajriin dan golongan Anshar, di mana dalam pertemuan itu mereka bermusyawarah untuk mencari seorang pemimpin pengganti Rasulullah. Dalam pertemuan itu terjadilah konfrontasi antar golongan, yaitu suku Aus dan Khazraj. Masing-masing menginginkan calon dari golongan mereka yang berhak menjadi khalifah Rasulullah. Ketegangan antar kelompok di Bani Saqifah segera diketahui oleh Umar ibn Khattab dan langsung diberitakan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, mereka khawatir akan terjadi perpecahan antar golongan. Abu Bakar beserta Umar ibn Khattab dan Abu Ubaidah ibn Jarrah langsung berangkat menuju ke pertemuan tersebut. Sesampainya Abu Bakar di sana, beliau segera memberikan solusi dari konflik yang sedang terjadi. Akhirnya, dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh Abu Bakar, peserta pertemuan tersebut menjadi tenang, ketegangan antar kelompok pun menjadi reda dan mereka sepakat untuk memilih Abu Bakar ash-Shiddiq serta membaiatnya menjadi pemimpin ummat sebagai Khalifah Rasulullah (Thaba 1996, hal. 100-101).
Dari paparan historis di atas tergambar bahwa pertemuan politik itu merupakan implementasi dari ayat al-Quran tentang Syura, bahwa ummat Islam diperintahkan untuk bermusyawarah dan menyelesaikan urusan yang mereka hadapi. Forum musyawarah itu berlangsung hangat, terbuka dan demokratis. Dalam hal ini D.B. Macdonald berkomentar, bahwa dalam forum musyawarah tersebut dapat disebut sebagai forum politik di mana di dalamnya terjadi diskusi dan dialog yang sesuai dengan cara-cara modern (Pulungan 2002, hal. 106). Terpilihnya Abu Bakar pada waktu itu, merupakan pemilihan pemimpin pertama dalam sejarah politik Islam, dalam pemilihan tersebut terdapat dua kelompok besar yang melewati proses musyawarah untuk menentukan pemimpin pengganti Rasulullah.
Selanjutnya, ketika Abu Bakar ash-Shiddiq mulai menunjukkan gejala kesehatan yang semakin memburuk dan ajal kian dekat, maka Abu Bakar mengajak beberapa orang dari shahabat senior untuk bermusyawarah. Abu Bakar mengkonsultasikan kepada shahabat senior mengenai khalifah pengganti dirinya setelah ia wafat. Adapun para sahabat dari kaum Muhajirin yang diajak berkonsultasi adalah Usman ibn Affan dan Abdurrahman ibn Auf, sedangkan dari kaum Anshar adalah Asid ibn Khudair (Thaba 1996, hal. 103). Dari hasil konsultasi tersebut, Abu Bakar menunjuk penggantinya, yaitu Umar Ibn Khattab. Alasan Abu Bakar menunjuk Umar ibn Khattab sebagai khalifah selanjutnya, yaitu pertama, pada waktu itu, ekspansi wilayah kekuasaan Islam sudah meluas ke semenanjung Arab bahkan telah mulai meluas keluar Jazirah Arab dengan berperang dalam dua front yang berbeda melawan kaum Persia dan Romawi, Abu Bakar khawatir jika nantinya dalam keadaan genting tersebut persatuan dan kesatuan umat akan terpecah; kedua, Abu Bakar memandang dengan menunjuk penggantinya, merupakan cara yang paling tepat demi kemashlahatan umat, sehingga perselisihan antar golongan yang pernah terjadi di Bani Saidah tidak akan terulang kembali. Sekali lagi perlu dipertegas di sini, bahwa Penunjukan Abu Bakar kepada Umar ibn Khattab sebagai khalifah kedua setelah Rasulullah tidaklah serta merta berdasarkan keinginan pribadi Abu Bakar sendiri. Beliau telah terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan para shahabat senior atau orang-orang yang memang memiliki kualifikasi permusyawaratan (Rais 2001, hal. 133).
Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar yang menunjuk pengganti dirinya, Umar ibn Khattab, ketika mendekati waktu kematiannya, para shahabat segera mendesak Umar ibn Khattab untuk menunjuk penggantinya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar, namun Umar menolak hal tersebut. Maka dengan inisiatifnya sendiri Umar ibn Khattab lalu membentuk Team Formatur (ahl al-syura’) yang terdiri dari enam orang sahabat, yaitu Ali ibn Abi Thalib, Utsman ibn Affan, Saad ibn Abi Waqas, Abdur Rahman ibn Auf, Zubair ibn Awwam, Thalhah ibn Ubaidillah, sementara Abdullah ibn Umar (putra Umar ibn Khattab) menjadi anggota tanpa suara. Pembentukan Formatur ini merupakan jalan tengah yang efektif atas desakan dari para shahabat. Para shahabat merasa khawatir akan sakit yang dialami oleh Umar akibat ditikam oleh Abu Lu’luah akan menyebabkan kematian yang mendadak bagi Umar ibn Khattab, sedangkan pengganti beliau belum ada, maka jika itu terjadi ditakutkan akan terjadi perpecahan kembali dikalangan ummat karena kekosongan kekuasaan seperti yang pernah terjadi di Bani Saqifah.
Mekanisme pemilihan yang telah diatur oleh Umar ibn Khattab adalah sebagai berikut:
- Formatur ini harus memilih khalifah selambatnya tiga hari setelah Umar meninggal dunia.
- Penentuan khalifah harus melalui musyawarah.
- Jika empat sampai lima orang menyepakati sebuah nama, sedangkan satu sampai dua orang lainnya menolak dan ia tidak bisa disadarkan, maka hendaknya semua berusaha menyadarkannya.
- Jika suara berimbang, mereka harus menanyakan pemecahannya kepada Abdullah ibn Umar. Siapapun yang didukung oleh Abdullah ibn Umar, dialah yang menjadi khalifah.
- Namun jika mereka tidak mengikut sertakan Abdullah ibn Umar maka, pihak yang dipilih oleh Abdur Rahman ibn Auf lah yang harus diterima. Bila ada yang menentang maka hendaklah dibunuh (Thaba 1996, hal. 104).
Berbeda lagi dengan mekanisme pemilihan setelah wafatnya Utsman ibn Affan. Sepeninggal Utsman ibn Affan akibat terbunuh oleh kelompok pemberontak yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan yang diatur oleh khalifah Utsman ibn Affan, beliau tidak sempat menunjuk penggantinya seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar atau membentuk team formatur sebagaimana yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab. Kematian yang tidak terduga sama sekali, tanpa meninggalkan wasiat mengenai mekanisme pemilihan, ditambah lagi selama beliau menjadi khalifah, banyak yang tidak suka terhadap cara-cara maupun kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dibuatnya, yang pada akhirnya muncul kaum-kaum pemberontak yang memusuhi Utsman ibn Affan. Ditambah dengan munculnya penyebar fitnah keburukan Utsman ibn Affan, kondisi ini semakin memperburuk kondisi ummat yang sudah terpecah-pecah. Klimak dari kondisi ini semua, ditandai dengan timbulnya pemberontakan oleh ribuan orang dari Kuffah, Bashrah dan Mesir yang datang ke Madinah secara bersamaan. Mereka mengepung kota dan kediaman Utsman ibn Affan, dan akhirnya Utsman ibn Affan berhasil mereka bunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an (Pulungan 2002, hal. 150-151).
Berkaitan dengan kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah keempat Rasulullah, sesungguhnya berlangsung dalam kondisi yang tidak baik. Ali ibn Abi Thalib menjadi pemimpin pengganti Utsman ibn Affan tidak melalui proses pemilihan seperti yang terjadi pada masa Abu Bakar, Umar ibn Khattab dan Utsman ibn Affan, akan tetapi melalui pembaitan langsung oleh para pemberontak dari penduduk Madinah, kecuali sekelompok kalangan shahabat senior yang menolak. Di antara yang ikut membaiat adalah sekelompok pemberontak yang menentang Utsman dan sebagian di antara mereka yang ikut bertanggung jawab atas kematian Utsman. Pembaitan Ali Juga didukung oleh masyarakat Hijaz dan Irak, tetapi masyarakat Syam di bawah pimpinan Muawiyyah menolak untuk membaiat. Orang-orang atau kelompok-kelompok yang menentang pembaitan Ali ibn Abi Thalib menganggap kekhalifahan Ali tidaklah sah dan mereka menuntut hukum Qishash terhadap pembunuh Utsman ibn Affan (Rais 2001, hal. 136).
Berbagai kekacauan yang terjadi di masa kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib, ummat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok yang saling membenci kelompok lainnya. Kelompok tersebut berasal dari keluarga Muawiyah dan dari golongan ’Aisyah. Seiring waktu, masing-masing kelompok saling menyerang, sehingga pada akhirnya terjadi perundingan damai yang dikenal dengan peristiwa Tahkim (arbitrase) atas permintaan Muawiyah yang merupakan siasat dari Amr ibn Ash. Namun realitanya, hasil dari tahkim ini bukan menyelesaikan masalah dan terwujudnya perdamaian, melainkan memunculkan dualisme pemerintahan. Dengan berbagai intrik politik yang dilancarkan oleh Muawiyah dan kelompoknya, mengakibatkan Ali kehilangan kekuasaannya. Atas rekayasa yang dibuat oleh Amr ibn Ash, Ali diberhentikan dari jabatannya sebagai khalifah dan mengangkat Muawiyah sebagai Khalifah. Kendati demikian, sebagian besar ummat yang merupakan pengikut setia Ali, tetap mengakui Ali sebagai Khalifah (Pulungan 2002, hal. 157).
Pasca peristiwa tahkim tersebut, beberapa bulan kemudian Muawiyah diproklamasikan menjadi khalifah. Dengan demikian, kekhalifahan ummat Islam berpindah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan. Perubahan utama yang terjadi dalam pemerintahan Muawiyah adalah perubahan pada bentuk sistem pemerintahan, dari bentuk khalifah yang bercorak demokratis menjadi sistem monarki dengan mengangkat putranya Yazid sebagai putra mahkota menjadi khalifah selanjutnya untuk menggantikan kedudukannya. Hal ini berarti suksesi kepemimpinan berlangsung secara turun temurun. Inilah pertama kali dunia Islam mempraktikkan sistem monarki dalam sistem kenegaraan, dengan demikian ia telah mengawali perubahan tradisi era Khulafah Rasyidin, di mana khalifah dipilih dan ditetapkan melalui pemilihan ummat, yang berarti juga Muawiyah telah meninggalkan prinsip musyawarah dan melanggar ketentuan yang telah ada di dalam nash Alquran agar setiap urusan diputuskan melalui musyawarah (Pulungan 2002, hal. 166).
Sistem monarki tersebut untuk selanjutnya menjadi tradisi pemerintahan yang berkelanjutan dan diikuti oleh raja-raja di Dinasti Umayah. Pasca keruntuhan Dinasti Umayah —yang sempat bertahan hingga lebih kurang 90 tahun–, dan dilanjutkan oleh dinasti yang baru yaitu Dinasti Abbasiyah, sistem pemerintahan tetap menerapkan sistem monarki absolut dengan suksesi kepemimpinan secara turun temurun. Begitu juga dinasti kerajaan-kerajaan Islam yang muncul dan berkembang di wilayah Eropa, mereka juga tetap melestarikan tradisi monarki ini. Demikian seterusnya pola pemerintahan yang diterapkan oleh dinasti-dinasti selanjutnya, seperti Dinasti Mamluk dan Fathimiyah di Mesir, Mughol di India, dan lain-lainnya. Hingga pada penghujung sejarah kerajaan-kerajaan dalam dunia Islam berakhir pada kekhalifahan Dinasti Ottoman (Turki Utsmani) di Istambul, Turki.
Dinasti yang terakhir di atas, yaitu Dinasti Turki Utsmani, pada akhir kekuasaannya mengalami kemorosotan dan kemunduran, dan dalam waktu yang sama Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat. Di samping itu, kehancuran dan kemorosan dinasti ini, berasal dari internal kerajaan, baik yang bersifat materi seperti, kemegahan dan kemewahan, cinta perempuan dan juga perebutan kekuasaan. Maka dari sinilah, cikal bakal runtuhnya Dinasti Ottoman dengan perilaku bangsa yang buruk. Keadaan yang demikian itu, dimanfaatkan oleh Mustofa Kamal at-Taturk yang lahir pada abad 19 untuk mendeIslamisasi Dinasti Ottoman dan mensekulerkannya. Mustofa yang pernah belajar ke Eropa itu, kemudian mengganti idelogi Islam menjadi Sekuler dengan memisahkan agama dengan negara. Inilah akhir dari tradisi monarki yang di pegang teguh oleh dinasti-dinasti pasca Khulafah Rasyidin hingga sampai kepada Dinasti Turki di Istambul.
Dari deskripsi singkat di atas, reformasi politik yang dilakukan oleh Muawiyah pasca pemerintahan era Khulafah Rasyidin, telah mengakar hingga berabad lamanya. Hal tersebut tidak lain karena menginginkan adanya kemurnian kekuasaan di tangan satu orang atau keluarga.
Selanjutnya, jika kita menilik kembali wacana Indonesia, sebenarnya bangsa ini memiliki Sejarah yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah, hingga Era Reformasi yang berlangsung hingga saat ini. Di Indonesia yang dulu disebut dengan Nusantara, pada masa pra Islam, telah berdiri kerajaan-kerajaan yang bercorak Hinduisme. Di saat Eropa memasuki masa Renaisans, Nusantara telah mempunyai warisan peradaban berusia ribuan tahun dengan dua kerajaan besar yaitu Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa, ditambah dengan puluhan kerajaan kecil.
Islam sebagai pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad 7 (Sunanto 2005, hal. 8-9).
Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad ke-7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini tampak pada tahun 100 H (718 M), Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan da’i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya (Sunanto 2005, hal. 6).
Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 01 Muharram 225 H atau 12 November 839 M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Baabullah.
Dalam kurun waktu yang sangat panjang, di Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan Islam, misalnya, Kerajaan Samudera Pasai di pesisir Timur Laut Aceh, Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di ibukota Aceh Besar sekarang ini, Kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, Banten, yang tumbuh dan berkembang di tanah Jawa. Kemudian di Kalimantan berdiri Kerajaan Banjar yang terletak di Kalimantan Selatan, Kutai di Kalimantan Timur. Selanjutnya di Maluku, Sulawesi yang berdiri Kerajaan Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Lawu, berikut juga kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di berbagai kepulauan di Nusantara.
Penting untuk menjadi catatan bahwa, “Indonesia” dalam alur sejarah Nusantara belum dikenal sama sekali. Berdirinya kerajaan-kerajaan ini tidak hanya menjadi bukti sejarah bahwa di Nusantara yang merupakan cikal bakal Negara Indonesia telah memiliki suatu kekuatan politik yang absolute, yang kekuasaannya diturunkan melalui garis keturunan, yang juga membuktikan bahwasanya dahulu sejarah Indonesia merupakan kerajaan-kerajaan.
Selanjutnya, Nusantara yang memiliki kekayaan yang melimpah ruah berupa hasil bumi yang banyak, menjadi daya tarik bangsa-bangsa Eropa untuk membangun kolonialisasi di bumi Nusantara. Pada abad ke-16, Portugis menancapkan kolonialisasinya, dilanjutkan Spanyol, dan yang paling lama menjajah Nusantara adalah Belanda, yang berlangsung hingga lebih kurang 3,5 abad lamanya.
Dampak terburuk dari kolonialisasi bangsa Eropa ini, secara perlahan satu persatu kerajaan-kerajaan di Nusantara mulai runtuh. Monopoli perekonomian, sampai campur tangan politik internal, dan politik adu domba, sistem kerja paksa terhadap rakyat pribumi dan lain sebagainya, menyebabkan keruntuhan kejayaan raja-raja di kepulauan Nusantara (http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia).
Kurun waktu yang sangat panjang tersebut, menyadarkan putra putri bangsa akan pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai kekuatan untuk perjuangan kemerdekaan. Maka pada tahun 1905 dimulailah gerakan nasionalis yang pertama, Serikat Dagang Islam dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, Budi Utomo. Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia pertama, Soekarno. Perjuangan demi perjuangan terus dilakukan bangsa Indonesia untuk merdeka, hingga akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno – Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen, di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai. Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
Maka dari sinilah, dapat dilihat bagaimana Indonesia tidak menerapkan sistem pemerintahan Negara yang berlandaskan Islam, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah dan Khulafah Rasyidin. Dari awal berdirinya Negara Indonesia ini, bangsa ini lebih condong mencontoh sistem pemerintahan dunia Barat, demikian pula suksesi pergantian kepemimpinan.
Sejak proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang masih muda dalam menyusun politik pemerintahan. Landasan berpijaknya adalah konstitusi dan ideologi yang mereka ciptakan sendiri sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat. Maka dari itu, pada keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang dan berhasil menetapkan konstitusi, Presiden dan Wakil Presiden. Dalam sidang PPKI ini, maka terpilihlah Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama di Indonesia. Hal tersebut tertuang pada Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa untuk pertama kalinya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh PPKI. Jadi tidaklah mengherankan jika MPR/DPR belum dimanfaatkan, karena pemilihan umum belum diselenggarakan. Lembaga tinggi negara lainnya yang telah disebutkan di dalam UUD 1945 belum dapat diwujudkan sehubungan dengan keadaan darurat di masa itu. Jadi sebelum MPR, DPR, DPA, BPK, MA terbentuk, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan dibantu oleh Komite Nasional (Syafi’i 2006, hal. 34-35).
Bagi sebuah negara yang baru lahir dari proses perjuangan panjang untuk kemerdekaan, pasca terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden, bangsa Indonesia tetap dalam kondisi yang tidak menentu. Membentuk sebuah negara yang masih terdapat campur tangan pihak asing menjadikan Indonesia saat itu belum dapat menentukan arah yang tepat dalam sistem kenegaraan.
Baru kemudian pada tahun 1955 bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilu pertamanya. Namun pemilu ini, bukan dalam rangka memilih pemimpin baru, tapi untuk memilih anggota DPR atau anggota Konstituante yang baru. Pasca penyelenggaraan Pemilu tahun 1955, keadaan perpolitikan dalam negeri tetap kacau bahkan bertambah panas dengan adanya pemberontakan di beberapa tempat di Indonesia. Hingga akhirnya, masa Orde Lama pun runtuh dan segera digantikan oleh era baru yang disebut dengan era Orde Baru. Dengan menetapkan Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, maka kekuasaan negara sepenuhnya dipegang oleh Presiden Soeharto.
Di masa Orde Baru penyelenggaraan pemilu untuk memilih pemimpin dengan system perwakilan dilaksanakan sebanyak 6 kali, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Namun, penyelenggaraan pemilu hanya untuk memilih anggota dewan yang nantinya akan memilih Presiden atau pemimpin negara. Anggota DPR yang dipilih oleh rakyat tersebut, diperanggap sebagai perwakilan rakyat dalam memilih pemimpin negara. Di masa Orde Baru, politik negara lebih terkesan di dominasi oleh satu golongan, sehingganya dalam beberapa kali penyelenggaraan pemilu, suara legislatif sebagai wakil dan perpanjangan tangan rakyat dalam memilih pemimpin atau Presiden selalu didominasi oleh satu golongan, yaitu Golongan Karya. Sudah barang tentu, dalam setiap kali pemilihan, Presiden Soeharto selalu tampil sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Ketidakpuasan sebagian rakyat terhadap politik Orde Baru, berusaha memperbaiki politik negara ini dengan berbagai pemikiran-pemikiran yang bertujuan untuk pembaharuan sistem kenegaraan Indonesia. Akhirnya, pada tahun 1998 meletuslah demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa se-Indonesia di depan Istana Negara. Dalam keadaan yang demikian, ditambah situasi kondisi bangsa yang kacau, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya selaku Presiden Republik Indonesia, yang segera disambut oleh rakyat Indonesia. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan status quo yang diusung selama hampir 32 tahun oleh Orde Baru (Syafi’i 2006, hal. 43 dan 51).
Setelah Indonesia mengalami reformasi dalam bidang politik pasca Orde Baru, banyak sistem kenegaraan yang berubah. Salah satu hal baru yang diubah dalam sistem politik di Indonesia adalah pemilihan pemimpin, yaitu Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung[1]. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung ini merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, di mana rakyat dapat menentukan secara langsung siapa yang menjadi pemimpin pemerintahannya. Jika menelaah kembali model sistem pemilihan seperti ini, sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Karena di Indonesia sendiri, untuk tingkat desa, masyarakat memilih sendiri secara langsung kepala desanya. Namun, untuk tingkat pemerintah nasional, baru pada tahun 2004 pemilihan pemimpin dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia. Demikian halnya yang terjadi pada pemilihan pada tahun 2009, pemimpin yaitu Presiden dan wakil Presiden termasuk Gubernur dan Bupati/Walikota, juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan diadakannya pemilihan pemimpin secara langsung oleh rakyat, semakin memperlihatkan kedewasaan demokrasi di dalam bangsa Indonesia ini (Azed 2005, hal. 133-134).
Dari keterangan historis di atas, mulai dari awal berdirinya Negara Islam di Madinah era kenabian, yang selanjutnya diteruskan oleh kekhalifahan Khulafah Rasyidin, hingga era reformasi di Indonesia saat ini, praktik pergantian kepemimpinan mengalami perkembangan yang cukup signifikan untuk ditela’ah. Rasulullah dan Khulafah Rasyidin yang telah membangun Negara Islam di Madinah, telah memberikan contoh bagaimana proses pergantian kekuasaan dilaksanakan di dalam suatu Negara, kendati Islam sendiri di masa klasik belum mengenal istilah Pemilu (election) namun dalam praktiknya, Islam telah menggunakan prinsip syuro dalam proses pergantian kekuasaan. Baru kemudian di masa pemerintahan Bani Umayyah, syuro telah ditinggalkan, dan berganti kepada kekuasaan secara turun-temurun. Tradisi semacam ini, berlangsung selama belasan abad. Hingga jatuhnya Dinasti Ottoman di Turki. Demikian pula Nusantara pasca masuknya Islam, kerajaan-kerajaan diberbagai belahan Nusantara juga mempraktikkan sistem kekuasaan turun temurun tersebut.
Khusus kasus ke-Indonesiaan sendiri, kendati memiliki sejarah keIslaman yang cukup kental, pada akhirnya memilih sistem Demokrasi Barat sebagai sistem kenegaraan. Ini berarti sistem monarki dan suksesi kepemimpinan secara turun temurun telah di hapus oleh para pendiri Negara ini. Hal ini berimbas kepada suksesi pergantian kepemimpinan di Indonesia. Namun yang jelas baik sistem suksesi pergantian kepemimpinan di Indonesia, demikian juga di dalam Islam sendiri, terdapat metode atau cara untuk memilih pemimpin ummat.
[1] Hal tersebut tertera dengan jelas dalam Undang-undang Dasar 1945 hasil Amandamen pada pasal 6A ayat (1) “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”, dan juga Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden